Jumat, 24 Desember 2010

Kisah seorang petani ijuk


Sumber: http://www.suaramerdeka.com/;
SUARA parang beradu pokok daun pohon aren bertalu-talu menyeruak di keheningan Wanawisata Hutan Penggaron, Ungaran, suatu siang. ”Tak tok tak tok”, menggema sampai di kejauhan.
Suara-suara itu berasal dari aktivitas Sumardi (45) dan Ngadimin (35) mencari ijuk. Untuk dapat mengambil serat alam berwarna hitam di pohon aren itu dengan mudah, mereka terlebih dahulu memangkas pangkal daun bagian bawah. Lalu dengan ujung parang, ijuk dilepaskan dari batang.
Menjelang tengah hari, ijuk yang mereka kumpulkan telah menggunung. Kedua lelaki asal Limbangan, Boja itu pun menyudahi aktivitas. Ijuk diikat dan mereka pun beristirahat. Sumardi dan Ngadimin adalah pemburu ijuk. ”Pemburu”, karena mereka mencari bahan baku sapu dan tambang itu ke belbagai daerah. Selain di desa asal, keduanya juga berkeliling ke luar daerah: Ungaran, Batang, Pekalongan, Wonosobo, Banjarnegara, serta Magelang.

Ijuk tumbuh berlapis-lapis di bagian atas batang pohon aren. Selapis ijuk, jelas dia, tumbuh dalam kurun tiga bulan. Idealnya, panen ijuk dilakukan sekali dalam setahun, yakni pada saat lapisannya berjumlah tiga. Wanawisata Penggaron baru kali pertama mereka sambangi. Sumardi dan Ngadimin mengetahui adanya pohon-pohon aren di kawasan itu dari informasi seorang teman.
Memang, dibanding dari Limbangan, kualitas ijuk Penggaron relatif lebih rendah. Bulatan seratnya lebih tipis dan memiliki kandungan serat kualitas ekspor lebih sedikit. Namun karena stok di daerah lain masih kosong, ijuk tersebut tetap diambil. ”Menurut saya ijuk dengan kualitas terbaik ada di daerah Boja. Daerah lain masih berada di bawahnya.”
Bayar Uang Rokok
Untuk bisa memanen ijuk di Penggaron, Sumardi dan Ngadimin cuma membayar uang rokok kepada petugas mantri hutan setempat.
Untung banyakkah mereka berdua? Tidak juga. Kata Sumardi, dia masih mengeluarkan biaya produksi yang lain, seperti untuk biaya makan sehari hari ketika pengambilan ijuk, dan membayar kendaraan untuk mengangkut ijuk ke Boja. ”Kalau dihitung-hitung untungnya pas-pasan,” ungkapnya.
Ijuk hasil perburuan selanjutnya mereka jual ke pengepul di daerah Tasikmalay. Namun sebelumnya diolah dan dibersihkan terlebih dahulu menggunakan seritan. Sebagian ijuk dibuat sendiri menjadi sapu. Harga ijuk mentah kualitas pertama saat ini mencapai Rp 4.500/kg, sedangkan kualitas di bawahnya Rp 4.000/kg. Ada pun kalau sudah menjadi sapu dijual seharga antara Rp 5.500 sampai Rp 8.000. ”Tasikmalaya adalah pusatnya jual beli ijuk. Di sana, ijuk diproduksi menjadi sapu, sikat, tambang, atap, kakaban ikan, dan sebagian besar di ekspor ke berbagai negara di eropa.” ujar Sumardi.
Sudah 20 tahun Sumardi menggeluti dunia ijuk. Tak terhitung berapa ton ijuk yang telah ia panen dalam kurun waktu itu. Ya, lelaki berkumis itu memang tak pernah menghitung, seperti halnya rupiah yang dia dapatkan untuk menghidupi keluarganya. (indrayana) http://www.ijukeksport.co.nr/;

Rabu, 22 Desember 2010

Sapu ijuk sampai ke taiwan

Produsen sapu ijuk mungkin bukan profesi yang mentereng. Namun, dengan jaringan pemasaran yang bagus dan kejelian melihat peluang, Atim Hanafizi berhasil mengekspor sapu ijuk ke Taiwan. Tetapi, Atim juga mesti menempuh perjalanan panjang sebelum sukses menjadi pengusaha seperti sekarang.

Usai lulus dari sekolah menengah ekonomi atas (SMEA) pada 1991, Atim sempat bekerja sebentar di Padang. Merasa kurang mendapat tantangan, ia memilih merantau ke Jakarta demi meraih penghasilan yang lebih baik.

Ternyata, keberuntungan belum berpihak pada pria kelahiran 38 tahun silam itu. Pelbagai pekerjaan sudah dia jajal, contohnya menjadi salesman dan penjaga toko.

Bosan berganti-ganti pekerjaan, pada 1993 kakaknya yang telah menjadi manajer di sebuah perusahaan ekspor impor menarik Atim ke perusahaannya. Rupanya, sang kakak dipercaya mengurus bisnis seorang pengusaha Taiwan. “Maklum, kalau orang dari luar negeri biasanya agak susah mengurus surat pendirian perusahaan,” ujar dia.

Dari sinilah Atim mulai mengenal bisnis. Perusahaan ekspor impor bernama PT Alsamindo Patamo itu mencoba mencari barang pasokan untuk pasar Taiwan. “Kami juga mengimpor barang dari Taiwan, misalnya magic jar, kipas angin, dan beberapa barang elektronik,” kata dia.

Sebelum mendapat permintaan sapu ijuk, Atim mengekspor arang, talenan dari kayu hitam, dan beberapa jenis barang lainnya. Tahun 1996, Alsamindo mendapat permintaan mengekspor sapu ijuk ke Taiwan. Tentu saja Atim harus melakukan survei terlebih dulu ke sejumlah daerah untuk mendapatkan produk yang bagus sekaligus menghitung biaya.

Ada tiga daerah yang dia jajaki, yaitu Cianjur, Tasik, dan Sukabumi. Tapi, pilihan Atim akhirnya tertambat di Sukabumi. Menurut dia, Sukabumi memiliki beberapa kelebihan ketimbang Cianjur dan Tasik. Pertama, letaknya cukup dekat dengan Jakarta. Kedua, pasokan bahan bakunya banyak. Ketiga, Atim merasa sudah cocok dengan perajin sapu ijuk di Sukabumi.

Atim memang memproduksi sendiri sapu ijuk tersebut. Na-mun, ia tidak turun langsung. Ada orang kepercayaan yang ia pekerjakan untuk mengawasi proses produksinya. Sebagai pendatang baru, Atim memang kerap dikecewakan oleh mitra kerjanya. Maka, dia terbilang sangat hati-hati memilih mitra kerja.

Ada saja permasalahan yang ia hadapi. Mulai dari pesanan yang tidak bisa selesai tepat waktu sampai bentuk sapu yang tidak sesuai dengan pesanan. Untungnya, sapu ijuk yang sudah diekspor itu tidak dikirim balik oleh importirnya. “Kalau tak bagus, mereka mengurangi harga,” ujar dia.

Kemudian, ia bertemu dengan Apip, mitra kerja yang saat ini menjadi pengawas atau mandor para pekerja Atim. Tadinya, Apip hanya seorang buruh pembuat sapu. Namun, Atim melihat pekerjaan Apip rapi dan ia bisa dipercaya. Mulailah, ia melatih Apip mengelola bisnis pembuatan sapu ijuk tersebut.

Produksi sapu ijuk Atim termasuk usaha padat karya. Se-mua proses produksi hampir tidak menggunakan mesin. Apa-lagi dia tidak menggaji pekerja khusus untuk membuat sapu ijuk. Rata-rata pekerjanya adalah ibu rumah tangga atau pemuda putus sekolah. Mereka pun hanya bekerja setengah hari.

Pertama kali memproduksi sapu ijuk, modal Atim hanya Rp 1,7 juta. Dana sekecil itu dia pakai untuk membeli bahan baku dan membayar 3 pekerja. Saat ini Atim mempekerjakan 35 orang pembuat sapu ijuk.

Bisnis sapu ijuk ini juga menghadapi banyak kendala lain. Misalnya, produksi sapu ijuk yang sangat tergantung jumlah pekerja dan faktor cuaca. “Di Sukabumi, kalau musim tanam, orang lebih memilih bekerja di ladang sehingga mereka hanya bekerja setengah hari di pabrik,” keluh Atim.

Jika musim hujan datang, produksi sapu ijuk pun bisa ber-kurang banyak. Sebab, ijuk yang menjadi bahan baku pembuatan sapu ijuk tidak mendapat sinar matahari untuk membuatnya kering.

Padahal, permintaan sapu dari Taiwan banyak. Bahkan, Taiwan bisa menampung berapa pun jumlah sapu ijuk yang ia kirimkan. Hanya, kemampuan produksi Atim masih terbatas. Awalnya, Atim hanya mampu mengirim sapu sebanyak 2.000-5.000 buah per bulan. Secara bertahap, produksi sapu ijuk Atim terus bertambah hingga bisa mencapai satu kontainer atau sekitar 30.000 batang sapu ijuk per bulan.

Sebatang sapu ijuk dia jual seharga 0,4 dollar AS hingga 1 dollar AS. Semakin baik kualitas sapu ijuknya, harga yang dia pasang juga semakin mahal. Dus, sekali kirim ke luar negeri, omzet Atim bisa mencapai antara Rp 125 juta - Rp 150 juta.

Pendapatan Atim dari sapu ijuk bisa bertambah kalau nilai tukar rupiah terdepresiasi terhadap dollar AS. “Kalau sampai “Rp 12.000 per dollar AS, satu kali kirim keuntungannya bisa beli satu mobil,” celetuk Atim tanpa menyebutkan detailnya.

Agar tetap bisa mengantungi keuntungan, ia menghitung nilai tukar dolar AS paling rendah “Rp 9.000 per dollar AS. Jadi, Atim bisa mendapatkan laba bersih sebesar 10 persen-15 persen dari omzet. Meski sudah mempunyai pasar yang cukup besar, Atim tidak lantas berdiam diri. Dia mengincar pasar di luar Taiwan. “Saya ingin masuk ke pasar Australia, Amerika Serikat, atau Eropa,” ungkap dia.

Selama ini kebutuhan modal kerja Atim cukup terpenuhi berkat hubungan baiknya dengan pengusaha Taiwan. Na-mun, untuk mewujudkan mimpinya mendobrak pasar negara lain, ia butuh tambahan modal kerja. Ia pun lantas mengikuti program kemitraan dari PT Perusahaan Nasional Madani (PNM).

Pucuk dicita ulam pun tiba. Ia mendapatkan kucuran dana segar dari PNM sebesar Rp 50 juta. Dana itu akan dia gunakan untuk membeli mesin pembuat plastik pangkalan ijuk. Jadi, dia tidak perlu lagi membeli plastik tersebut dari pemasok di Jakarta. Biaya produksi pun bisa dia hemat. Kalau melihat semangat Atim, pasti bisnis sapu ijuknya bisa semakin yahud.

Jumat, 17 Desember 2010

REKLAMASI ANCOL MENGGUNAKAN RAKIT BAMBU



Reklamasi ancol timur berjalan terus, yaitu reklamasi dengan menggunakan bambu yang dibikin rakit atau raft yang di ikat dengan tali ijuk ( tali ini terbukti sangat cocok untuk mengikat bambu dan kuat terhadap garam air laut bahkan cenderung makin menguat, dan juga tahan lama) kami dari sumber mulya ijuk terus suplai tali ijuk ke proyek.
waktu tahap pertama pembangun proyek tersebut hampir seluruh material tali ijuk kami kirim, saat itu kami kirim tali ijuk ketiga kontaktor, denga kreteria besar 4-5mm, tiga lilitan, dengan pengebalan 1 x 2000m.
sekarang proyek reklamasi telah masuk pada tahap ke dua, persaingan tali ijuk pun terjadi, para suplayer sudah tidak terlalu memperhatikan kualitas tali ijuk, mereka lebih mengejar persaingan harga di lapangan, besar tali ijuk, jumlah lilitan yang dipakai (banyak pemintalan dua), kekeran tali ijuk, ini mungkin berakibat pada daya tehan dan kekuatan tali ijuk dalam pengikatan bambu.
(sumber mulya ijuk _ Indra yana)