Senin, 02 Mei 2011

LAGI-LAGI IJUK BISA JADI BAHAN UNTUK BANGUNAN RUMAH ANTI GEMPA

Terus Lakukan Inovasi, Sosialisasikan Karya Lewat Simulasi
Tuesday, 03 May 2011 09:56

Prof Sarwidi, Guru Besar Universitas Islam Indonesia (UII) Peraih Penghargaan dari ATAKI
Terus Lakukan Inovasi, Sosialisasikan Karya Lewat Simulasi

Satu prestasi kembali diraih dosen sekaligus Guru Besar Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta. Atas peran serta dan komitmennya mencari inovasi pengurangan dampak bencana gempa dalam bidang konstruksi tahan gempa, Prof. Sarwidi, dosen Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP) UII mendapat penghargaan ATAKI tahun 2011.

Yogi Isti Pujiaji, Sleman

Masih ingat Prof Sarwidi. Namanya sempat mencuat saat terjadi erupsi Merapi 2006. Pria yang sehari-harinya mengajar di UII ini nyaris menjadi narasumber utama media massa saat terjadi erupsi Merapi yang menewaskan dua relawan Warjono dan Sudarmanto. Apa pasal?. Dia adalah orang yang ikut merealisasikan pembangunan bunker di lereng Merapi yang menjadi lokasi meninggalnya dua relawan ini.
Bukan hanya itu, nama Sarwidi juga sempat kembali mencuat di tahun yang sama. Dia berhasil menciptakan rumah bangunan rumah rakyat tahan gempa (barataga). Bahkan, sampai saat ini ciptaannya menjadi alternatif bagi masyarakat di DIJ yang ingin membangun rumah tinggal.
Nah, prestasi Sarwidi ini ternyata mendapat apresiasi dari berbagai pihak. Salah satunya dari Asosiasi Tenaga Ahli Konstruksi Indonesia (ATAKI). Mantan Wakil Rektor 1 UII itu menerima penghargaan ATAKI atas hasil karyanya tersebut. Penyerahan penghargaan ini dilakukan di Hotel Mercure, Ancol, jakarta pada 26 April 2011 lalu.
Bahkan, saat ini Sarwidi terus melakukan inovasi dan memasyarakat keberadaan barataga. Melalui pelatihan bangunan rumah rakyat tahan gempa (Barrataga) dan pengembangan Simutaga (alat simulasi ketahanan gempa bangunan), hasil karyanya ini semakin dikenal masyarakat. “Penting adalah sosialisasi kepada warga agar mau membangun rumah tahan gempa. prinsip Barrataga adalah bangunan kuat dan murah,” ujar Sarwidi di rektorat UII, kemarin (2/5).
Sosialisai yang diberikan kepada warga (korban gempa khususnya) menggunakan metode sosial dan animasi, serta Simunaga. Di Jogjakarta, kata Sarwidi, masih banyak bangunan tak tahan gempa lantaran dinilai mahal biayanya.
Ternyata, menurut lulusan Rensselaer Polytechnic Institute (RPI) New York, AS, itu keengganan warga membangun bangunan tahan gempa lantaran minimnya sosialisasi. Sistem Barrataga tak butuh biaya mahal. “Ini gampang, bangunan hanya butuh perkuatan-perkuatan secara monolit atau menyatu,” terangnya.
Lalu, imbuh Sarwidi, pada bagian pondasi diberi isolator menggunakan pasir dengan ketebalan 10-20 centimeter. Ada juga yang menambahkan dengan ijuk untuk meredam gempa vertikal. “Ibarat mobil diberi per,” katanya. Pasir merupakan media murah yang bisa diterapkan di Indonesia. Berbeda dengan Jepang yang memakai isolator berbahan karet atau per yang mahal. “Tapi ketebalan pasir harus dicek. Dan tidak semua jenis tanah bisa dengan pasir, misalnya tanah berair. Kalau dipaksakan maka bangunan bisa ambruk,” terangnya.
Sementara untuk tulang bangunan bisa memanfaatkan plastik atau bambu. Jadi tidak semua tulang menggunakan besi. Untuk atap tidak harus genting tanah, tapi bisa diganti seng. Lebih lanjut, anggota pengarah Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) itu mengatakan ketahanan bangunan terhadap gempa bisa dicek dengan Simunaga yang diciptakannya pula.
Menurutnya, Simunaga mampu mendeteksi ketahanan bangunan tinggi dan tembok secara sederhana. Atas kreasi Sarwidi terhadap bidang konstruksi untuk bangunan tahan gempa itulah, Sarwidi mendapat penghargaan ATAKI 2011. ***